Tulisan Berikutnya

April 28, 2010

Solfema adalah seorang dosen Universitas Negeri Padang, Punya perhatian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini dan pendidikan kaum perempuan .


Makalah

September 25, 2009

MEMBENAHI LPTK DALAM MENYIAPKAN TENAGA PENDIDIK

YANG PROFESIONAL PASCA PERLUASAN MANDAT DAN KONVERSI

IKIP MENJADI UNIVERSITAS

Oleh

S o l f e m a

( Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang)


I. PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan lembaga yang bertanggung jawab mengembang tugas untuk menyiapkan calon tenaga pendidik. Semenjak tahun 1994 dengan keluarnya kebijakan perluasan mandat dan tahun 1995 dengan konversi IKIP menjadi Universitas, maka LPTK sudah harus menambah beban tugasnya sesuai dengan mandat lembaga pendidikan tinggi yakni menyiapkan: tenaga pendidik dan kependidikan, seni, vokasi, dan tenaga lainnya. Oleh sebab itu, LPTK mengemban dua tugas pokok yakni, bidang kependidikan dan non-kependidikan (Joni & Hitipeuw, 2008; Mulyasa, 2008).

Dengan perluasan mandat tersebut timbul harapan yang tinggi, bahwa Universitas eks IKIP yang tugas pokoknya tetap sebagai LPTK, akan berkembang dengan optimal. Sebab, selama ini LPTK sering disorot, bahwa keluarannya sebagai tenaga pendidik yang akan mengajarkan ilmu tertentu “lemah” dalam subtansi keilmuannya. Dengan perluasan mandat, LPTK juga berhak membina bidang ilmu di luar bidang kependidikan, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kelemahan yang selama ini akan teratasi.

Fenomena yang teramati semenjak LPTK mengemban perluasan mandat, LPTK yang tugas utamanya menyiapkan calon tenaga pendidik dan kependidikan, sepertinya lupa akan tugas pokoknya. Dalam berbenah diri, LPTK kelihatannya terdorong untuk memacu perekembangan di luar mandat utamanya—non-kependidikan. Pada tataran mekanisme prioritas pengalokasian dan pengembangan sumberdaya dan lembaga, termasudk dana—telah terjadi pergeseran yang kuat kearah bidang non-kependidikan sehingga kurang menjanjikan pemenuhan amanat perluasan mandat dan konversi IKIP jadi universitas. Yang lebih parah adalah perubahan di tingkat perorangan: kapabalitas dan pilihan perorangan jajaran akademik dari IKIP-IKIP yang dikonfersi jelas tidak mengarah kepada keberlanjutan bidang kependidikan (Joni & Hitipeuw, 2008). Hal tersebut terlihat dari berbagai pengembangan program, termasuk dalam pengembangan sumber daya manusia. Dalam pengembangan sumber daya manusia, terutama dosen, lebih difokuskan kepada pengembangan non-pendidikan. Hal tersebut terlihat dengan banyaknya dosen yang diberi kesempatan studi lanjut dalam bidang non-kependidikan. Bahkan dalam pengangkatan dosen baru, terlihat gejala yang sama, yakni lebih banyaknya pengangkatan dosen non-kependidikan dibanding dosen kependidikan. Suatu sisi, kebijakan yang demikian ada benarnya, yakni dalam mengejar ketinggalan selama ini.

Di sisi lain, apakah ketertinggalan tersebut dapat dikejar, sementara tugas pokok, menyiapkan tenaga kependidikan—terabaikan.Tidak hanya itu, sivitas akademika pun merasa bangga dengan mengalihkan perhatiannya kepada bidang non-kependidikan. Dosen-dosen dalam bidang studi tertentu lebih cenderung mengembangkan kemampuannya dalam bidang non-kependidikan, dia merasa bangga sebagai dosen non-kependidikan. Keadaan yang demikian mempunyai dampak psikologist erhadap mahasiswa. Mahasiswa yang mengambil program studi pada bidang studi kependidikan merasa minder terhadap mahasiswa bidang studi non-kependidikan (pengamatan penulis pada salah satu universitas eks IKIP), mungkin saja pada universitas eks IKIP lainnya akan sama persoalannya. Seperti juga dikemukakan oleh Joni (2007) salah seorang pakar pendidikan dari universitas eks IKIP Malang,”Setelah dikonversi menjadi universitas pada tahun 1999, makin lama kami menyadari bahwa langkah kami makin terhambat oleh kesehatan organisasi kami yang makin mundur, kami semakin kehilangan kemampuan untuk memelihara kapasitas organisasi di bidang pendidikan khususnya pendidikan profesional guru”

Selanjutnya Joni (2008) mengemukakan bahwa meskipun dalam kepres IKIP menjadi Universitas secara ekplisit dinyatakan bahwa bidang pendidikan tetap menjadi misi utama kelembagaan, namun pengayoman-nya melalui melalui prioritas pengalokasian dan pengembangan sumber daya termasuk SDM masih belum melembaga, karena konversi hanya di-maknai sebagai urusan label, yaitu ditinggalkannya label pendidikan.

Sementara itu, pendidikan profesi guru itu sendiri sebagai pendidik juga amat mengkuatirkan dengan adanya model pendidikan profesi kegu-ruan yang berbentuk pendidikan profesi guru terintegrasi dan pendidikan profesi guru konsekutif yang bernaung di bawah UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang diikuti dengan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang tidak dapat membedakan antara pendidikan profesi dengan profesional guru konsekutif yang mele-takkan empat pilar Unesco sebagai landasan untuk merumuskan standar kompetensi guru yang cacat ontologi, atau cacat peruntukan (Joni, 2007).

Kekuatiran yang sama juga dikemukakan oleh Mulyasa (2008), wa-laupun pada satu sisi kita kelebihan guru terutama dalam bidang sosial di sisi lain kita masih kekurangan dalam guru dalam bidang MIPA, akan te-tapi secara umum kita masih memerlukan guru, bahkan pada satu saat nanti kita bangsa Indonesia akan kekurangan guru terutama guru yang profesinal, yang mampu menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Guru yang demikian akan menjadi barang langka sekitar 10 tahun mendatang, karena saat ini banyak lembaga pen-didikan guru yang kurang konsen terhadap pengadaan guru. Sebagian IKIP sudah berobah menjadi Universitas—visi, misi dan tujuannya terkon-sentrasi pada hal yang berbeda pula. Universitas eks IKIP ini akan lebih konsentrasi untuk meningkatkan ilmu murni dari pada kependidikan, apa-lagi bagi yang sudah berobah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) ( Mulyasa, 2008).

Dari fenomena di atas, hal ini perlu menjadi perhatian yang serius guna pengembangan tenaga kependidikan ke depan. Dikhawatirkan apa-bila LPTK tidak mampu menghasilkan tenaga pendidik profesional sesuai dengan kompetensi akademik dan profesional yang dituntut untuk itu, ma-ka hal ini akan mempunyai dampak yang luas terhadap mutu pendidikan di negara kita. Oleh sebab itu, LPTK harus berbenah kembali untuk me-nangani tugas utamanya yakni menyiapkan tenaga kependidikan. Kalau tidak LPTK akan kehilangan jati dirinya, sementara dia juga tetap ter-tinggal dalam bidang studi non-kependidikan dari universitas yang lebih dahulu mengelola non-akademik.

B.RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, da-pat disimpulkan bahwa masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini ialah terabaikannya tugas pokok LPTK untuk menyiapkan tenaga ke-pendidikan oleh karena terlalu berambisi untuk mengejar ketinggalan da-lam bidang non-kependidikan.

C.TUJUAN PEMBAHASAN

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dike-mukakan, maka tujuan tulisan adalah untuk membahas :

1.Masalan kualitas pendidikan dan kualitas guru

2.Guru yang profesional sebagai tuntutan pendidikan

3.Tanggung jawab LPTK dalam mendidik guru yang profesional

4.Perluasan mandat LPTK: hakekat dan permasalahan

5.Membenahi LPTK dalam menyiapkan tenaga pendidik yang profesio-nal

II. PEMBAHASAN

A.MASALAH KUALITAS PENDIDIKAN DAN KUALITAS GURU

1.Kualitas Pendidikan

Di antara berbagai masalah pendidikan yang sedang berkembang dewasa ini, masalah kualitas pendidikan adalah masalah yang paling kru-ial. Berkenaan dengan masalah kualitas ini, maka dia sudah merupakan suatu yang menjadi bahan pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari, ter-masuk masalah kualitas pendidikan. Di mana-mana orang selalu mencari yang berkualitas, seperti produk yang berkualitas, layanan yang berkuali-tas dan pendidikan yang berkualitas. Untuk bidang ekonomi dan lainnya mungkin mudah untuk mengukur kualitas, sesuai dengan telah ditetapkan terlebih dahulu. Namun kalau berbicara soal kualitas pendidikan maka sangat sulit untuk diukur apa yang dimaksud dengan kualitas, kecuali de-ngan mengkuantitaskan sesuatu. Oleh sebab itu kualitas pendidikan dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti dari perspektif ekonomi, dari sosial bu-daya, dari perspektif proses globalisasi, dan dari perspektif pendidikan itu sendiri (Tilaar, 2006)

Dilihat dari perspektif pendidikan, dianggap sebagai suatu bentuk investasi modal, dan oleh sebab itu ia harus di kelola secara efisien, ka-rena pendidikan dilaksanakan berdasarkan prinsip efisiensi. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang dilaksanakan secara efisien. Ar-tinya, setiap daya upaya yang dikerahkan dalam bidang pendidikan hen-daknya mengasilkan keluaran yang mempunyai daya saing. Dilihat dari perspektif globalisasi ditandai dengan kehidupan yang kompetitif, sistem pendidikan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan global yang ditandai dengan semakin tajamnya kompetisi, semenjak dari tingkat individu, lokal, nasional, dan interasional. Sejalan dengan efisiensi, maka pendidikan yang berkualitas dicerminkan oleh keluarannya yang mampu berkompetisi dalam dunia yang semakin mengglobal. Dilihat dari perspektif pendidikan itu sendiri, yaitu bagaimana pendidikan dapat memenuhi kebutuhan dari peserta didiknya sendiri.

Dari uraian tersebut jelas kelihatan betapa masalah kualitas pendi-dikan berkaitan erat dengan tujuan pendidikan. Apakah tujuan pendidikan diarahkan kepada kebutuhan ekonomi, sosial budaya dan politik, atau di-arahkan kepada kebutuhan peserta didiknya sendiri. Sebagai salah satu alat ukur kualitas pendidikan kita saat ini, dapat dilihat dari hasil studi yang dilaksanakan oleh Internasional Educational Achievement (IEA) terhadap kemampuan membaca siswa tingkat SD yang hasilnya menunjukkan bah-wa siswa SD di Indonesia berada di urutan ke 38 dari 39 negara. Selan-jutnya, rendahnya kualitas pendidikan Indonesia juga tergambar dari ren-dahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Menurut laporan UNDP tentang Human Developmen Indeks (HDI) pada tahun 2001 Indonesia me-nempati peringkat 102 dari 174 negara yang diteliti, jauh dibawah negara Asian lainnya seperti Singapura, Malaysia, Thailan, dan Brunai Darussa-lam yang berada diperingkat 40-an (Djalal, 2002). Kedua hasil penelitian tersebut, baik tentang tentang hasil belajar siswa SD, maupun kualitas sumber daya manusia Indonesia, keduanya menunjukkan rendahnya mu-tu pendidikan di Indonesia. Walaupun pemerintah sudah berupaya untuk menaikkan mutu pendidikan dengan berbagai cara, antara lain dengan mengadakan Ujian Nasiona (UN), namun dampaknya masih dipertanya-kan (Tilaar, 2006).

2.Kualitas Guru

Rendahnya kualiatas pendidikan tersebut antara lain dipengaruhi oleh rendahnya kualitas guru sebagai tenaga pendidikan (Coomb, 1969). Sedikitnya ada tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pemba-ngunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kua-litas sumberdaya manusia, yakni: (1) sarana gedung, (2) sumber yang berkualitas, (3) guru dan kependidikan yang profesional (Mulyasa, 2008). Wardiman Djoyonegoro dalam wawancaranya dengan Televisi Pendidikan (TPI) tanggal 16 Agustus 2004 (dalam Mulyasa, 2008) mengemukakan bahwa ditemukan “hanya 43% guru yang memenuhi syarat”, artinya seba-gian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompe-ten, dan tidak profesional. Pantas kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan. Pada hal dalam kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan me-miliki peran dan pengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembagan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya.

Dalam proses belajar mengajar betapapun bagusnya kurikulum de-ngan menentukan standarisi yang tinggi, tetapi apabila tidak tersedia guru yang profesional, maka tujuan kurikulum tersebut akan sia-sia (Tilaar, 2006). Menyadari hal tersebut, disadari pula betapa penting adanya guru yang profesional. Untuk mendapatkan guru yang profesional, maka wa-wasan guru tentang pendidikan perlu ditingkatkan. Sebab, jika berbicara dan konsekuen terhadap memprofesionalkan pekerjaan guru, maka wa-wasan kependidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak (Joni, 1983).

Sementara itu, Simon dan Aleksander (dalam Mulyasa, 2008) telah merangkum lebih dari 10 hasil penelitian di negara-negara berkembang, menunjukkan adanya dua kunci penting dari peran guru yang berpenga-ruh terhadap peningkatan prestasi belajar peserta didik, yaitu: jumlah waktu yang efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas, dan kualitas kemampuan guru. Dalam hal ini guru hendaknya mem-punyai standar kemampuan profesional untuk melakukan pembelajaran yang berkualitas. Joni (2008) juga mengumukakan dalam rangka refitali-sasi pendidikan profesional guru di tanah air adalah ibarat “puncak gu-nung es” yang di bawahnya terdapat permasalahan yang berlapis-lapis di antaranya adalah peningkatan kapasitas LPTK dalam mengemban misi penyelenggaraan Program Pendidikan Profesi Guru

B.GURU YANG PROFESIONAL SEBAGAI TUNTUTAN DALAM ME-NINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

Sebagai pendidik, guru merupakan salah satu faktor penentu ke-berhasilan pendidikan. Turun atau meningkatnya mutu pendidikan yang diperoleh anak didik tidak hanya ditentukan oleh kurikulum yang bagus dan sarana yang lengkap saja, namun peranan guru sangat menentukan.

Teknologi atau media pembejaran tidak akan bisa menggantikan peranan guru. Sebab pendidikan merupakan suatu proses yang yang me-nyangkut hubungan antar manusia yang membutuhkan seni komunikasi dan interaksi yang edukatif yang dapat menyintuh anak didik dengan se-gala karakteristiknya. Guru yang dimaksud disini bukanlah dalam arti ku-antitas melaikan adalah guru yang berkualitas yaitu guru yang profesional. Guru yang tidak hanya tahu apa yang diajarkan dan bagaimana mengajar-kannya saja, tapi dia juga harus menguasai mengapa dia melakukan ba-hagian dan tugas itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain (Joni, 1983).

Jadi profesionalsasi guru menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapan-nya. Profesional bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesinalisme lebih dari seorang teknisi, bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi saja tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan (Maister, 1977). Sebagai suatu bidang pekerjaan yang profesional pekerjaan seorang guru tidaklah akan sama dengan pekerjaan seorang aktor yang bisa menirukan semua prilaku. Seorang aktor mungkin saja menirukan pekerjaan seorang hakim dengan segala prilakunya, atau menirukan pekerjaan seorang suster de-ngan tugas merawat pasiennya, tapi tiruan itu hanya sebatas prilaku yang tampak, tapi dia tidak akan bisa memahami hakekat yang sebenarnya.

Untuk lebih rinci perlu kita lihat bagaimana guru yang profesional ter-sebut. Pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang profesional. Seba-gai pekerjaan profesional berbeda dengan keahlian lainya, karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksana-kan profesinya. Setiap keputusan dan tindakan yang diambil guru dalam pekerjaannya harus dilandasi oleh pertimbangan keahlian yang bertumpu pada penguasaan akademik yang solid (Joni & Hitipeuw, 2008). Guru pro-fesional adalah orang yang memiliki kemampuan dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain guru profesinal adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.

Mengingat tugas dan tanggung jawab guru yang begitu kompleks-nya, maka profesi ini memerlukan persyaratan khusus yaitu : (1) Menun-tut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengeta-huan yang mendalam; (2) Menekankan keahlian sesuai dengan bidang profesinya; (3) Menuntut tingkat pendidikan yang memadai; (4) Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksa-nakannya; (5) Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dengan di-namika kehidupan. Sementara persyaratan umum profesi guru akan sama dengan persyaratan profesi lainnya, seperti memiliki kode etik, memiliki objek layanan yang tetap, diakui karena diperlukan jasanya, mendapat im-balan yang setimpal jasa/karyanya, bekerja secara full time dalam tugas-nya. Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dicantumkan prinsip profesionalitas guru sebagai berikut: (1) Memiliki ba-kat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (2) Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulya; (3) Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai de-ngan bidang tugas; (4) Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai de-ngan bidang tugas; (5) Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalannya; (6) Memperoleh penghasilan yang sesuai dengan prestasi kerjanya; (7) Memiliki kesempatan untuk mengembangkan kepro-fesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (8) Me-miliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesi-onalannya; dan (9) Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewe-nangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

Gambaran guru yang profesional sebagaimana digambarkan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut sungguh ideal. Akan tetapi, dalam kenyataan teramati bahwa banyak hal yang membuat guru belum mungkin untuk bertindak sebagai guru pro-fesional, antara lain rendahnya pengakuan dan imbalan yang diterima oleh guru (Akadum, 1999). Akibat rendahnya pengakuan dan imbalan yang diterima oleh guru, jabatan sebagai tenaga pendidik kurang diminati oleh mereka yang potensial. Sehingga kebanyakan pelamar (enrolment) pada lembaga pendidikan guru (LPTK) bukanlah mereka yang unggulan. Mereka yang unggulan tidak berminat untuk menjadi tenaga pendidik, ka-rena pengakuan terhadap tenaga pendidik rendah yang tercermin dari gajinya yang rendah. Oleh karena itu, profesi keguruan harus mendapat-kan pembinaan dan perhatian yang memadai dengan mengeluarkan kebi-jakan yang tepat untuk itu. Untuk itu, profesi keguruan harus dapat men-jamin kesejahteraan guru dengan gaji memadai. Dengan demikian profesi guru akan menjadi rebutan, sehingga dengan demikian pada waktu rek-rutmen calon tenaga pendidikan, para pengambil kebijakan dapat memilih mereka yang lebih potensial di antara sedemikian banyak calon yang me-lamar. Dengan demikian, kulitas masukan calon guru dapat diandalkan yang pada gilirannya akan menghasilkan guru-guru yang potensial pula .

C.TANGGUNG JAWAB LPTK DALAM MENDIDIK GURU YANG PRO-FESIONAL

Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah suatu lem-baga yang bertanggung jawab dalam menyiapkan tenga pendidik dan ke-pendidikan yang profesional, dalam hal ini terutama sekali adalah guru se-bagai suatu profesi. Meskipun semenjak tahun 90-an LPTK telah memper-luas mandatnya untuk tugas di bidang non-kependidikan, IKIP sebagai LPTK yang telah memperluas mandat semenjak tahun 1995 tanpa alasan yang jelas, kebijakan perluasan ini dibuka lepas dengan konversi menjadi Universitas (Joni & Hitipeauw, 2008). Walaupaun LPTK sudah memikul mandat yang sama dengan Universitas lain, namun yang perlu diingat adalah mandat utama LPTK itu ialah kependidikan. Melalui pendidikan prajabatan guru, maka guru yang profesional adalah tanggung jawab LPTK. Karena LPTK adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pe-merintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru semenjak dari pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, sampai pada pendidikan menengah, sekaligus sebagai penyelenggara dan pengembang ilmu kependidikan dan non-kependidikan (UU No. 14/ 2005). Selanjutnya, dalam Keppres Perubahan IKIP menjadi Universitas secara ekplisit juga dinyatakan bahwa bidang kependidikan tetap menjadi missi utama kelembagaan. Dari uraian ini nampak dengan jelas bahwa tu-gas utama LPTK adalah menyiapkan tenaga kependidikan.

Dalam menyiapkan guru profesional melalui pendidikan prajabatan, terdapat dua model pendidikan profesional guru berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, walaupun ini juga perlu dipertanyakan lebih lanjut ketepatannya karena digunakannya The Four Pillars of Learning UNESCO sebagai rujukan dasar, yang sebenar-nya dimaksudkan untuk mengambarkan individu secara utuh terlepas dari konteks dan format pendidikan yang diselesaikannya (Joni dan Hetipiuew, 2008). Adapun bentuk atau model itu adalah: Pertama, Pendidikan Profesi Guru yang Terintegrasi yang disebut dengan model terintegrasi (Con-current Model), yaitu pendidikan profesi bagi mahasiswa tamatan S-1/D-IV pada jalur kependidikan dengan porsi lebih besar pada penguatan kompe-tensi profesional. Bentuk yang kedua adalah Pendidikan Profesional Guru Konsekutifyang disebut dengan model konsekutif (Consecutive Model) yaitu pendidikan profesional bagi mahasiswa tamatan S-1/D-IV non-ke-pendidikan dengan porsi lebih besar kepada penguatan kompetensi peda-gogik.

Di samping tugas menyelenggarakan pendidikan profesional guru dalam mengemban amanat yang teruang dalan undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, maka ada tugas lain dari LPTK da-lam menyiapkan guru yang profesional adalah program sertifikasi guru oleh LPTK yang telah terakreditasi. Sertifikasi adalah pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sertifikat diberikan bagi yang telah meme-nuhi persyaratan yang dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Tugas sertifikasi juga tugas berat dengan berbagai tantangan yang perlu menjadi perhatian oleh LPTK terutama dan tentu tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah sebagai pemberi amanat, demi tercapai-nya tujuan mendapatkan guru yang profesional.

Terlepas dari persoalan ketepatan model dan rujukan di atas tapi yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa pendidikan prajabatan guru profesional adalah tanggung jawab LPTK. Bagaimanapun yang terjadi, ren-dahnya kualitas lulusan guru yang dikatakan sebagai pekerjaan profesio-nal tidak bisa lepas dari tanggung jawab LPTK. Karena dia adalah produk LPTK. Hal ini sesuai amanat yang diberikan kepada LPTK sebagai tugas utamanya adalah bidang kependidikan sebagaiman yang tertuang dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab I pasal (1) butir 14. Permasalahan ini menjadi lebih serius ketika dilihat masih le-mahnya konsep pemerintah tentang sistem dan lembaga pendidikan guru, sehingga menimbulkan berbagai kritikan yang perlu menjadi perhatian.

D.PERLUASAN MANDAT LPTK: HAKEKAT DAN PERMASALAHAN

Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebenar sudah lama berdiri dengan tugas-tugas menyiapkan tenaga pendidik dan kepen-didikan, semenjak semenjak tahun 90-an telah diperluas mandatnya da-lam bidang non-kependidikan. Semenjak tahun 1995 beberapa IKIP seba-gai LPTK yang telah memperluas mandat, juga dikonversi menjadi Univer-sitas. Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di kemukakan bahwa LPTK adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pengadaan guru mulai dari guru pendidikan anak usia dini sampai pendidikan menengah dan mengem-bangkan ilmu kependidikan dan non-kependidikan. Di dalam Keppres per-ubahan IKIP menjadi Universitas secara ekplisit juga dinyatakan bahwa bidang kependidikan tetap menjadi missi utama kelembagaan.

Namun setelah perluasan mandat mulai berjalan, maka permasa-lahan pun terasa mulai muncul. Di antara permasalahan tersebut, seba-gaimana dikemukakan Joni (2008) dan Mulyasa (2008), sebagai berikut:

1.Teramati adanya kecenderungan mental dari pada civitas akademika untuk menyeberang dan mengutamakan bidang non-pendidikan. Hal tersebut tidak saja terlihat pada kalangan mahasiswa, tetapi dosen dan bahkan sebagian pimpinan pun tidak berbeda halnya. Hal ini menye-babkan banyak kebijakan yang tidak perpihak pada satuan akademik kependidikan. Walaupun perlindungan terhadap pendidikan terjamin dalam Keppres tentang konversi tapi berbeda halnya setelah sampai pada tingkat lembaga. Pengalokasian dana pun lebih difokuskan untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang non-kependidikan.

2.Kesulitan LPTK dalam memperoleh pendanaan dalam pemeliharaan mutu. Dalam meraih pendanaan berbagai Hibah Kompetisi dari Dikti, LPTK harus berkompetisi bersama dengan Universitas lain seperti UI, ITB, dan UGM yang lebih tua dan mapan, yang tentu saja lebih maju dari LPTK, dengan sendirinya tentu saja LPTK akan kalah bersaing sehingga kesulitan memperoleh dana Hibah Kompetisi yang diperun-tukkan bagi membangun kesehatan organisasi tersebut.

3.Dalam hal pengembangan sumber daya manusi (SDM), belum lagi ada aturan yang melembaga, semuanya masih sepenuhnya tergantung pa-da pilihan perorangan warga organisasi tersebut. Pilihan perorangan ini pada suatu saat kalau dibiarkan bisa berdampak melemahkan orga-nisasi apabila tidak menunjang pengembangan keilmuan yang relevan. Hal ini mungkin hanya menguntungkan untuk pribadi yang bersangkut-an tapi merugikan secara kelembagaan.

4.Dalam penyelenggaraan pendidikan profesional guru, Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, belum adanya aturan yang jelas antara pendidikan guru melalui pendidikan guru profesional model terintegrasi (koncurren model) dengan pendidikan profesional guru model konsekutif (konsecutive model)

E.MEMBENAHI LPTK DALAM RANGKA MENYIAPKAN TENAGA PENDIDIK YANG PROFESIONAL

Setelah melihat tugas dan peranan yang diamanatkan kepada LPTK untuk menyelenggarakan program pengadaan guru mulai dari peN-didikan anak usia dini sampai pendidikan menengah, serta menyelengga-rakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan non-kependidikan, di-iringi dengan permasalahan yang terjadi yakni terabaikannya bidang ke-pendidikan, maka sudah saatnya LPTK harus berbenah diri kembali untuk meningkatkan kinerja lembaganya.

Membenahi LPTK tidak bisa hanya dilakukan di dalam diri LPTK saja melainkan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasonal melalui Direktorat Pendidikan Tinggi juga harus bertanggung jawab. Sebe-lum melihat aspek-aspek yang perlu dibenahi, menurut penulis terlebih dahulu yang harus disadari oleh anggota (individu/personal) di LPTK ada-lah menghayati kembali Kepres tentang Perluasan Mandat dan Konversi IKIP menjadi Universitas, bahwa tugas utama LPTK adalah di bidang ke-pendidikan. Selama semua individu masih terseret untuk fokus kepada non-kependidikan, maka penyiapan guru yang profesional pada bidang kependidikan masih akan tetap tertinggal.

Menurut penulis, ada beberapa hal yang harus benahi oleh LPTK jika menginginkan meningkatkan kualitas profesionalisasi guru yang diem-bannya, hal tersebut ialah:

1.LPTK harus berbenah dalam mengembangkan program lembaganya, antara lain sebagai berikut:

a.Kurikulum yang memang betul-betul sesuai dengan tuntutan per-kembangan dan kemajuan zaman. Sampai sekarang kurikulum un-tuk pendidikan profesi terutama yang untuk model konsekutif belum jelas perbedaanya antara lulusan yang berasal dari satuan akade-mik kependidikan dengan yang dari non-kependidikan walaupun sudah diberikan penekanan untuk yang dari kependidikan lebih di-tekankan pada pengembangan profesional dan untuk yang dari non-kependidikan lebih ditekankan pada pengembangan pedago-gik, namun ini masih rancu pada tingkat prodi penyelenggara

b.Fasilitas pembelajaran di antaranya kepustakaan yang menunjang pencapaian kemampuan mahasiswa dalam pemperoleh kompeten-si yang diharapkan, dikehendaki adanya keseimbangan antara lite-ratur yang bersifat kependidikan dengan yang non-kependidikan. Amat disayangkan seandainya yang ditemukakan literatur terbaru hanya yang untuk non-kependidikan yang mungkin dapat dipero-leh melalui proyek pengembangan/hibah-hibah kompetisi. Semen-tara untuk kependidikan masih menggunakan literatur yang dipero-leh dimasa pra-konversi.

c.Di samping kepustakan yang tidak kalah pentingnya adalah fasilitas yang mendukung mahasiswa untuk dapat memperoleh informasi dan perkembangan terkini melalui media seperti internet dan seje-nisnya. Mungkin untuk sebagian LPTK ini sudah mulai dicanangkan namun masih banyak LPTK yang belum mengarah kesana. Ja-ngankan mahasiswa yang menggunakan, kadang kala di pihak do-sen saja masih banyak yang elergi terhadap teknologi.

d.Laboratorium, bagaimanapun laboratorium adalah fasilitas pokok yang harus dimiliki dalam pendidikan. Laboratorium tentu dengan segala fasilitas yang mendukungnya. Biasanya ini juga akan dapat dikembangkan melallui hibah-hibah kompetisi.

2.Aspek kedua yang perlu dibenahi adalah sistim pengembangan staf, terutama dosen dalam memilih bidang kajian/jurusan untuk studi lanjut. Harus ada mekanisme yang jelas dan terorganisir. Ada suatu pemeta-an dalam pengembangan dosen, agar jangan sampai terjadi penyebe-rangan besar-besaran yang menyebabkan bidang kependidikan sudah tidak lagi menjadi pilihan bagi staf, yang mengakibatkan dapatnya bi-dang kependidikan mati secara perlahar-lahan. Atau setidak-tidaknya, “hidup segan, mati tak mau”.

3.Iklim organisasi. LPTK harus menumbuhkan iklim organisasai yang sehat dalam lembaga terutama dalam menjaga suasana yang dapat menciptakan tempat yang bisa memberikan penghargaan terhadap bidang kependidikan. LPTK, secara psikolgis, seperti yang teramati sekarang, sepertinya, ternomor duakan yang membawa dampak psiko-logis pada dosen dan mahasiwa.

III. PENUTUP

Sebagai penutup, ingin dikemukakan hal-hal sebagai berikut. Perta-ma, secara jujur harus diakui bahwa kualitas pendidikan formal kita jauh tertinggal. Di Asia Tenggara saja, kualitas pendidikan Indonesia berada di bawah Singapur, Malaysia, dan Brunai Darussalam. Salah satu komponen penting yang berhubungan dengan rendahnya kulitas pendidikan tersebut adalah kualitas sumber daya manusia, terutama guru. Oleh karena itu, un-tuk meningkatkan kualitas pendidikan, tidak dapat tidak, kualitas guru ha-rus ditingkatkan. Peningkatan kualitas guru merupakan tanggung jawab LPTK, baik melalui koncurrent model atau pun konsecutive model, di sam-ping itu tugas LPTK lainnya adalah melaksanakan disertifikasi, sehingga guru menjadi guru yang profesional.

Ciri-ciri guru yang profesional sebagai berikut: (1) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (2) Memiliki komitmen untuk mening-katkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulya; (3) Me-miliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (4) Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bi-dang tugas; (5) Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofe-sionalannya; (6) Memperoleh penghasilan yang sesuai dengan prestasi kerjanya; (7) Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesional-an secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (8) Memiliki ja-minan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan-nya; dan (9) Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

Terlepas dari segala macam persoalan, pendidikan prajabatan guru profesional adalah tanggung jawab LPTK. Bagaimanapun yang terjadi, rendahnya kualitas lulusan guru yang dikatakan sebagai pekerjaan profe-sional tidak bisa lepas dari tanggung jawab LPTK. Karena dia adalah pro-duk LPTK.

Permasalahan yang muncul setelah perluasan mandat LPTK ada-lah sebagai berikut: (1) Adanya kecenderungan mental dari pada civitas akademika untuk menyeberang dan mengutamakan bidang non-pendidik-an; (2) Kesulitan LPTK dalam memperoleh pendanaan dalam pemelihara-an mutu, karena peroleh dana untuk perbaikan mutu diperloh melalau hi-bah, kenyataan yang teramati, hibah lebih diutamakan untuk “universitas yang sesungguhnya”; (3) belum adanya aturan yang melembaga berkena-an pengembangan sumber daya manusia, sehingga terdapat individu yang mengembangkan diri tanpa memperhatikan kebutuhan lembaga, yang pada gilirannya dapatg merugikan lembaga; (4) belum adanya atur-an yang jelas antara pendidikan guru melalui pendidikan guru profesional model terintegrasi (koncurren model) dengan pendidikan profesional guru model konsekutif (konsecutive model)

Beberapa hal yang harus benahi oleh LPTK adalah: (1) Pengem-bangan program lembaganya, antara lain kurikulum, fasilitas pembelajar-an, perpustakaan, dan laboratorium; (2) Sistim pengembangan staf, ter-utama dosen dalam memilih bidang kajian/jurusan untuk studi lanjut; dan (3) LPTK harus menumbuhkan iklim organisasai yang sehat dengan mengusahakan suasana yang dapat menciptakan tempat yang bisa mem-berikan penghargaan terhadap bidang kependidikan.

DAFTAR RUJUKAN

Akadum, 1999. Potret Guru Memasuki Milinium Ketiga, Suara Pemba-haruan. Online: http://www.suara pembaharuan.com/News/1999/ 01/220199/oped.

Coomb, P.H. 1969. The World Educational Crisis: A Systems Analysis. New York: Oxford University Press

Djalal, F. 2002. Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan yang Mendasar. Pendidikan Anak Dini Usia. I (1): 4—8.

Joni, T.R. 2007. Prospek Pendidikan Profesional Guru di Bawah UU No. 14 Tahun 2005. Malang: Universitas Negeri Malang

Joni, T.R. 2005. Cara Belajar Siswa Aktif, Wawasan Kependidikan, dan Pembaruan Pendidikan (Pidato pada peresmian penerimaan jabatan Guru Besar). Malang: IKIP Malang

Joni, T.R. & Hitipeuw, I. 2008. Wawasan Makro Pendidikan (Bahan Per-kuliahan). Malang: Universitas Negeri Malang

Maister, D.H.1997, True Profesionalism. New York: The Free Press

Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Tilaar, H.A.R. 2006. Standirisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Karya

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika

Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Yogyakarta: Pustaka Yustisia